Allah Ta’ala berfirman, “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Adz Dzariyaat: 56).
“Sungguh telah Kami utus kepada setiap umat seorang Rasul (yang mengajak) sembahlah Allah dan tinggalkanlah thoghut.” (An Nahl: 36).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ta’ala ‘anhu, “Jadikanlah perkara yang pertama kali kamu dakwahkan ialah agar mereka mentauhidkan Allah.” (Riwayat Bukhori dan Muslim).
Nabi juga bersabda, “Barang siapa yang perkataan terakhirnya Laa ilaaha illalloh niscaya masuk surga.” (Riwayat Abu Dawud, Ahmad dan Hakim dihasankan Al Albani dalam Irwa’ul Gholil)
Tauhid adalah perkara yang paling penting dalam agama Islam. Sebagai tujuan diutusnya para Rasul, serta sebagai kewajiban pertama dan terakhir bagi manusia yang berakal.
Pelanggaran terhadapnya adalah bid'ah yang paling besar sebagaiman firman Allah :
“Katakanlah: marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu: Janganlah kamu mempersekutukan suatu apapun dengan Dia, dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua…” (QS. Al An’am: 151)
“Sungguh telah Kami utus kepada setiap umat seorang Rasul (yang mengajak) sembahlah Allah dan tinggalkanlah thoghut.” (An Nahl: 36).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ta’ala ‘anhu, “Jadikanlah perkara yang pertama kali kamu dakwahkan ialah agar mereka mentauhidkan Allah.” (Riwayat Bukhori dan Muslim).
Nabi juga bersabda, “Barang siapa yang perkataan terakhirnya Laa ilaaha illalloh niscaya masuk surga.” (Riwayat Abu Dawud, Ahmad dan Hakim dihasankan Al Albani dalam Irwa’ul Gholil)
Tauhid adalah perkara yang paling penting dalam agama Islam. Sebagai tujuan diutusnya para Rasul, serta sebagai kewajiban pertama dan terakhir bagi manusia yang berakal.
Pelanggaran terhadapnya adalah bid'ah yang paling besar sebagaiman firman Allah :
“Katakanlah: marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu: Janganlah kamu mempersekutukan suatu apapun dengan Dia, dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua…” (QS. Al An’am: 151)
Nabi Muhammad Saww bersabda : “Barangsiapa yang
tiada mengasihi manusia maka Allah-pun tiada mengasihinya!” (Kanz
al-‘Ummal, hadits ke : 5972)
Di Dalam ajaran Islam, Mengasihi Sesama Manusia adalah
bagian terpenting dari ajaran Nabi Muhammad saww dan Ahlul Baitnya. Mencintai
umat manusia adalah realisasi dari ajaran al-Qur’an, yang mana pengutusan Nabi
Muhammad Saww merupakan rahmat dan wujud kasih sayang Allah SwT atas Alam
Semesta ,“Tiadalah Kami mengutusmu (Wahai Muhammad) melainkan sebagai rahmat
(Ku) atas Alam Semesta” (QS Al-Anbiya’ [21] ayat 107)
Ayat di atas sekaligus menjelaskan tujuan dari
diutusnya Muhammad saww sebagi Rasul dan Nabi, yaitu memanifestasikan Kasih
Tuhan ke seluruh penjuru semesta.
Di dalam hadits lainnya diriwayatkan Rasulullah saww
bersabda, ”Demi Yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, tidaklah masuk Surga
kecuali orang yang memiliki rasa kasih sayang.”
Para sahabat menyahut, “Kami semua memiliki kasih
sayang!”
Nabi berkata, “Bukan itu yang kumaksudkan, kalian bisa
dikatakan sebagai orang yang memiliki kasih sayang jika kasih sayang kalian
juga dilimpahkan kepada seluruh umat manusia dan alam semesta” 79]
Mungkin kita pernah berdoa, ”Ya Allah, kasihanilah
kami” Tetapi bagaimana jika ditanyakan kepada kita,”Apakah kalian sendiri juga
suka menyayangi?”
Atau hampir setiap waktu kita berdo’a, “Ya Allah,
maafkanlah kami” Tetapi bagaimana jika ditanyakan kepada kita,”Seberapa banyak
kalian telah memberi maaf kepada manusia?”
Nabi Saww bersabda, “Allah Yang Maha Rahman
mengasihi dan menyayangi orang-orang yang memiliki kasih sayang, karena itu
kasihilah mereka yang di bumi niscaya mereka yang di langit juga mengasihimu!”
80]
Rasa belas kasih berarti kepekaan terhadap kondisi
atau status dari semua ciptaan Tuhan, baik itu manusia, binatang atau bahkan
tumbuh-tumbuhan. Seseorang tidak mungkin bisa memiliki rasa belas kasih kecuali
jika ia memiliki kepedulian kepada kebutuhan dan kondisi-kondisi orang lain.
Allah ‘Azza wa Jalla mewajibkan Zakat dan Khumus atas
kaum muslimin untuk membebaskan kaum yang lemah, yatim piatu, para janda,
orang-orang miskin dan tertindas demi jiwa kaum muslimin itu sendiri. Sebab
kepekaan, dan kepedulian kepada mereka yang lemah (dlu’afa) merupakan
stimulasi untuk membersihkan jiwa (nafs) agar tumbuh pula kecintaan dan kasih
sayang dari jiwa yang telah tersucikan tadi.
Bahkan puasa yang diwajibkan pada bulan Ramadhan itu
pun bertujuan untuk itu (‘illat), sebagaimana yang dikatakan oleh Imam
Ja’far al-Shadiq as, “Allah mewajibkan puasa untuk mempersamakan si kaya dan
si miskin. Dengan puasa orang kaya akan merasakan derita lapar untuk
menumbuhkan rasa belas kasihnya kepada si miskin, karena selama ini si kaya
tidak pernah merasakannya. Allah menghendaki untuk menempatkan
makhluk-makhluk-Nya pada suatu pijakan yang sama dengan jalan membuat si kaya
turut merasakan nestapanya lapar, sehingga ia menaruh belas kasih kepada orang
yang lemah dan lapar.” 81]
KISAH SUFI ABU BIN ‘AZHIM
Diriwayatkan bahwa seorang sufi besar, Abu bin Azhim,
suatu waktu terbangun di tengah malam. Kamarnya bermandikan cahaya. Di tengah
tengah cahaya itu ia melihat sesosok makhluk, seorang malaikat yang sedang
memegang sebuah buku. Abu bin Azhim bertanya: “Apa yang sedang anda kerjakan?”
“Aku sedang mencatat daftar pecinta Tuhan”, jawab sang malaikat.
Abu bin Azhim ingin sekali namanya tercantum sebagai
salah seorang pencinta Tuhan di dalam daftar tersebut. Dengan cemas ia mencoba
melongok ke daftar itu, tapi kemudian ia sangat terpukul dan kecewa, karena
ternyata namanya tidak tercantum di daftar tersebut.
Ia pun bergumam: “Mungkin aku terlalu kotor untuk
menjadi pecinta Tuhan, tapi sejak malam ini aku ingin menjadi pecinta manusia”.
Beberapa hari kemudian ia terbangun lagi di tengah malam. Kamarnya dipenuhi
cahaya terang benderang, malaikat yang bercahaya itu hadir lagi.
Abu bin Azhim kembali mencoba melihat daftar para
pencinta Tuhan, dan ia pun sangat terkejut, karenaanya t namercantum pada papan
atas daftar pecinta Tuhan. Ia pun bertanya kepada sang malaikat sambil
terheran-heran, “Aku ini bukan pecinta Tuhan, aku hanyalah pecinta manusia,
bagaimana mungkin namaku tercantum sebagai salah seorang pencinta Tuhan?”.
Sang malaikat pun menjawab, “Baru saja Tuhan berfirman kepadaku bahwa engkau
tidak akan pernah bisa mencintai Tuhan sebelum kamu mencintai sesama manusia” 82
Rasulullah saww juga bersabda, “Kecewa dan
Merugilah orang yang Allah tidak mengaruniai di dalam hatinya rasa kasih sayang
kepada umat manusia.”83
Mencintai Rasulullah saww sama dengan mencintai Allah
SwT, mencintai orang tua kita sama dengan mencintai Allah SwT, mencintai sesama
manusia sama dengan mencintai Allah SwT. Seorang ‘Arif bi Allah, yaitu,
Ahmad ibn Muhammad al-Sawih al-Maliki al-Khalwati berkata, “Engkaulah
Muhammad, pintu Allah (Baab Allah), tanpa engkau tidak sampai orang kepada-Nya.
Dia, Muhammad, pintu Allah yang agung dan rahasia-Nya (sirruhu), yang
membanggakan. Sampainya seseorang kepada Muhammad juga sampainya orang itu
kepada Allah, karena sesungguhnya dua hadhrat (Allah dan Muhammad) adalah satu
dan siapa yang membedakannya berarti dia belum mengenyam nikmatnya Ma’rifah!”
84
Kita akan mendengar satu kisah lagi yang sangat indah
yang berkenaan dengan Ahlul Bait Nabi-Nya, yaitu percakapan Imam Husain as,
yang saat itu masih kanak-kanak, dengan ayahnya, Imam Ali as, sang Insan kamil.
DIALOG IMAM HUSAIN AS DENGAN
AYAHNYA
Sewaktu masih kecil Imam Husain as (cucu Rasulullah saww) bertanya kepada ayahnya, Imam Ali as, “Ayah, apakah engkau mencintai Allah?”
Imam Ali as menjawab, “Ya, Tentu!”
Lalu Husain kecil bertanya lagi, “Apakah engkau
mencintai kakek dari Ibu?” (maksudnya Rasulullah)
Imam Ali as kembali menjawab, “Ya, tentu saja!”.
Imam Husain bertanya lagi, “Apakah engkau juga
mencintai Ibuku?”
Lagi-lagi Imam Ali as menjawab, “Ya, Tentu saja aku
mencintai ibumu”
Husain kecil kembali bertanya, “Apakah engkau juga
mencintaiku?”
Imam Ali as tersenyum dan menjawab, “Ya, tentu saja
aku juga mencintaimu!” Terakhir kali Husain kecil bertanya,”Ayahku, bagaimana
bisa engkau menyatukan begitu banyak cinta di dalam hatimu?”
Imam Ali as kemudian menjelaskan kepada puteranya yang
sangat dicintainya itu, “Wahai Anakku, pertanyaanmu hebat! Ketahuilah, cintaku
pada kakek dari ibumu (Nabi saww), ibumu (Fathimah as) dan kepadamu sendiri
adalah karena cintaku kepada Allah. Karena sesungguhnya semua cintaku itu
adalah cabang-cabang cintaku kepada Allah Swt”
Setelah mendengar penjelasan ayahnya itu, Husain kecil tersenyum mengerti. 85
Setelah mendengar penjelasan ayahnya itu, Husain kecil tersenyum mengerti. 85
MENCINTAI MANUSIA SAMA
DENGAN MENCINTAI TUHAN
Mencintai manusia, pada hakikatnya, sama dengan mencintai Tuhan, karena manusia dan alam ini adalah manifestasi-Nya juga.
Di balik nama-nama Muhammad, Ali, Fathimah, Hasan,
Husain atau pun isteri, anak-anak kita, atau siapa pun, sejatinya, di sanalah
bersimpuh wajah-Nya dan manifestasi dari nama-nama-Nya.
Al-Qur’an bahkan mewasiati kita agar kita saling
nasihat menasihati di dalam menetapi kebenaran, kesabaran dan kasih sayang! : “Tahukah
kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (yaitu) melepaskan budak dari
perbudakkan, atau memberi makan pada hari kelaparan, kepada anak yatim yang ada
hubungan kerabat, atau orang miskin yang sangat fakir, dan dia termasuk
orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan
untuk berkasih sayang.” (Lihatlah al-Qur’an Surat Al-Ashr dan QS 90 : 17)
Rasulullah saww bersabda :
“Sesungguhnya Allah itu Maha Penyayang
dan menyayangi orang-orang yang memiliki kasih sayang
dan Dia melimpahkan Rahmat-Nya
atas orang-orang yang memiliki kasih sayang”
(Kanz al-‘Ummal hadits ke : 10381)
“Sesungguhnya Allah itu Maha Penyayang
dan menyayangi orang-orang yang memiliki kasih sayang
dan Dia melimpahkan Rahmat-Nya
atas orang-orang yang memiliki kasih sayang”
(Kanz al-‘Ummal hadits ke : 10381)
Laa hawla wa laa quwwata illa billah.
No comments:
Post a Comment